TINGKAT MENULIS ILMIAH DI INDONESIA RENDAH; ADA APA?
Ada
pepatah mengatakan, “Semakin tinggi pohon
tumbuh, semakin kencang angin menerpanya”. Itulah yang dirasakan manusia
seiring waktu berjalan. Seiring waktu berjalan pula, kita dituntut untuk cerdas
menyikapi permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi tahun
2015 nanti akan dimulainya ASEAN
Community, dimana persaingan mencari pekerjaan dan lainnya tidak hanya
antar sesama Warga Negara Indonesia, justru diperluas cakupan saingannya
menjadi antar sesama Warga Negara ASEAN. Nah, salah satu cara menang itu adalah
memperbaiki diri dalam menulis.
Menurut Aulia(2014), menulis
merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang kompleks dan dapat dikatakan
sebagai media cerita antara penulis dan pembaca. Menulis sangat penting
dilakukan oleh setiap orang. Terlebih lagi jika dia adalah seorang akademisi
yang dituntut agar dapat menulis karya ilmiah. Karya ilmiah yang mereka buat
diperlukan dalam menyampaikan hasil penelitian mereka agar menambah wawasan
masyarakat. Tanpa karya ilmiah, masyarakat kemungkinan tidak akan serta merta
memercayai dan menerima apa yang telah para ahli kerjakan. Karya ilmiah
sejatinya bak ujung tombak eksistensi ilmu pengetahuan di tanah air kita.
Negara kita Indonesia sedang
gencar-gencarnya mempromosikan program menulis ilmiah bagi civitas akademika di
wilayah perguruan tinggi. Dibuktikan dengan turunnya surat edaran Direktur Jendral
Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012. Surat edaran ini berisi keputusan Dirjen
Dikti yang mewajibkan seluruh mahasiswa Perguruan Tinggi membuat dan
mempublikasikan karya ilmiah dalam bentuk jurnal, atau biasa disebut skripsi,
sebagai syarat kelulusan. Dibuatnya surat edaran ini agar banyak lulusan
Perguruan Tinggi dapat menciptakan sesuatu setelah mereka menyelesaikan
studinya dan demi menaikkan prestis Perguruan Tinggi Indonesia di mata dunia.
Akan tetapi sangat disayangkan. Setelah
lulus, sangat sedikit dari para lulusan yang melanjutkan kepenulisan ilmiah.
Kegiatan menulis ilmiah pun terhenti sampai penulisan skripsi tersebut. Ada apa
sebenarnya yang terjadi? Ternyata ini disebabkan belum terciptanya rasa cinta
menulis yang kuat dari dalam diri mereka. Mereka menulis atas dasar kata
“syarat lulus” yang dijargonkan Perguruan Tinggi. Apa jadinya jika sang penulis ilmiah berhenti
tanpa ada penerusnya? Tentu saja hal yang tidak diinginkan terjadi.
Alasan lain mengapa kepenulisan di
Indonesia rendah adalah kurangnya wadah bagi mereka yang ingin mempublikasikan dan
memperdalam ilmu mereka tentang menulis ilmiah. Pelatihan penyusunan karya
ilmiah diharapkan menjadi wahana belajar untuk menghasilkan karya yang memenuhi
syarat. Di dalam pelatihan itulah akan dibahas mengenai tata cara penulisan
karya ilmiah dengan segala persyaratan untuk pemuatannya di sebuah jurnal.
Semoga kendala-kendala yang selama
ini ada dalam penulisan ilmiah, dapat disingkirkan demi meningkatnya kualitas
sumber daya manusia di Indonesia. Jayalah Indonesiaku!!
Komentar
Posting Komentar